Relawan Tanpa Sertifikat
- Imamu Hidate (Imam Hidayat)
- Nov 22, 2015
- 3 min read
Pertengahan bulan Juli 2011, adalah liburan panjang pertamaku sebagai seorang mahasiswa. Namun, liburan tak seasyik ketika kecil dulu. Hingga akhirnya saya berniat mengerjakan hal yang lebih berguna, apa lagi status saya adalah seorang mahasiswa/pemuda, yang seharusnya tidak tinggal diam.
Namun tak banyak hal yang bisa saya lakukan sebagai mahasiswa semester 2. Tapi saya sangat ingin melakukan hal yang bermanfaat. Hingga akhirnya saya memilih untuk menjadi relawan (volunteer) untuk membantu pembuat arang di sekitar kampung saya. Ya, meskipun tidak ada program voluntering di kampung saya, bukan berarti kita tak bisa menjadi relawan. Menjadi relawan tidak harus selalu melalui program atau event voluntering. Selama ingin membantu, dunia selalu punya tempat untuk para relawan. Jangan menjadi relawan karena iming-iming sertifikat.

Saya menawarkan diri untuk membantu Bapak Hasan (72 tahun) atau masyarakat lebih mengenalnya sebagai Pua' Jamila, salah satu pembuat arang di kampung saya. Saya memilih Pak Hasan di antara sekian banyak pembuat arang di kampung saya, sebab beliau sudah terbilang tua namun terus giat bekerja bersama istrinya, apa lagi Pak Hasan tidak memiliki anak yang bisa membantunya. Beliau telah menggeluti pekerjaannya selama kurang lebih 30 tahun.



Selama saya membantu Pak Hasan membuat arang, banyak hal yang saya pelajari, termasuk sulitnya menjalani profesi sebagai pembuat arang, apa lagi mengandalkan proses pembuatan yang masih tradisionil. Untuk menghasilkan satu drum arang, Pak Hasan dan istrinya harus berjuang melawan panasnya bara api dan ‘berkelahi’ dengan tebalnya kepulan asap selama kurang lebih 6-8 jam. Dan harga arang tersebut juga tak seberapa, dan belum tentu laku dijual, mengingat mereka punya produk pesaing semacam kompor gas atau kompor listrik. Namun Pak Hasan dan istrinya tidak punya keahlian lain selain keahlian melawan panasnya bara api dan kepulan asap untuk menghasilkan seonggok arang. Namun Pak Hasan tetap semangat meski semakin hari semakin sulit menjual arang-arangnya. Beliau mengajarkan saya bahwa hidup tidak boleh putus semangat apa lagi harapan.

Menjadi relawan bersama Pak Hasan dan istrinya mengajariku tentang semangat juang dan kegigihan hidup. Sebab, tak mudah bagi seorang kakek yang harusnya menikmati usia tua, namun harus tetap berjuang hidup bersama istrinya yang juga tak muda lagi. Ini menjadi semacam ‘cambukan’ kecil bagi diriku, atau bahkan bagi setiap pemuda yang masih memiliki tubuh yang kuat namun hanya bermalas-malasan menjalani hidup. Melalui Pak Hasan dan istrinya, saya belajar bahwa usia muda harusnya kita manfaatkan seoptimal mungkin sebab masih banyak orang yang ingin berusia muda dan bertubuh kuat namun tak bisa melawan usia tapi tetap harus bekerja. Pak Hasan.
Dan akhirnya, saya berhasil mengisi waktu libur selama kurang lebih 12 hari dengan menjadi relawan. Selama 12 hari tersebut, saya belajar banyak hal tentang pembuatan arang, tantangan dan kesulitan menjual arang, pelajaran hidup, serta cara pandang baru terhadap dunia. Dan saya percaya dengan membantu orang lain, suatu saat kita akan dibantu pula meski lewat tangan orang lain. Dan setiap apa yang kita kerjakan akan berpengaruh atau berguna di masa depan.
Setahun kemudian, ternyata pengalaman relawanku bersama Pak Hasan betul-betul berguna. Waktu itu, saya ingin mendaftar salah satu kompetisi proyek sosial berbasis lingkungan yang diadakan oleh salah satu perusahaan besar, nama kompetisi tersebut adalah Bayer Young Environmental Envoy. Dan tanpa pikir panjang saya pun mengangkat ide proyek tentang pembuatan arang yang ramah lingkungan. Ide tersebut saya susun berdasarkan pengalaman selama 12 hari menjadi relawan sebagai pembuat arang bersama Pak Hasan. Ide saya adalah membuat semacam alat pembakaran sederhana yang dapat meminimalkan volume asap pembakaran. Dan tanpa fikir panjang lagi, saya langsung menuju kampung halaman untuk bertemu dengan Pak Hasan guna merealisasikan ide tersebut. Dan Alhamdulillah, Pak Hasan dan istrinya setuju. Maka dengan modal uang tabungan, saya pu membiayai pembuatan alat pembakaran sederhana tersebut. Saya tidak peduli apakah proyek saya akan lolos atau tidak, sebab sudah sejak lama saya ingin membantu Pak Hasan dan istrinya, sebab keduanya telah mengalami penyakit saluran pernafasan akibat terlalu banyak menghirup asap. Dan semoga alat tersebut bisa mengurangi asap yang selama ini menjadi ‘musuh’ Pak Hasan dan istrinya.

Dan gayungpun bersambut. Proyek pembuatan arang ramah lingkungan milikku lolos hingga tahap final di Jakarta. Saya pun menuju Jakarta berbekal doa orang tua serta doa Pak Hasan dan istrinya.
”Saya doakan Nak Imam menang. Saya dan istri saya akan selalu mendokan yang terbaik. Kami sudah menganggap Nak Imam seperti anak sendiri, sebab kami tak memilki anak satupun,” kata Pak Hasan ketika aku memohon pamit. Dan seketika air mataku meleleh. Tak kusangka Pak Hasan menganggap kehadiranku sedemikian penting baginya. Akupun berangkat dengan hati yang mantap.
4 November 2012, Dari Arang menuju Bavaria


Ini kali pertamaku menginjakkan kaki di Eropa. Iya kawan, saya menang di kompetisi proyek sosial lingkungan tersebut dan pemenang mendapat kesempatan mengunjungi Jerman untuk belajar tentang teknologi-teknologi terkini tentang lingkungan. Bagiku ini adalah kemenangan Pak Hasan dan istrinya, tanpa mereka berdua, anak kampung sepertiku tidak akan pernah bisa melihat daratan Eropa serta menginjakkan kaki di Tanah Bavaria Jerman. Dan semuanya berawal dari niat tulus menjadi RELAWAN !!!
Comentarios