top of page

Merajut Mimpi ke Jerman (part 1): Senior Hebat Bernama Fadli

Lima tahun lalu, saat mulai mencicipi semester ketiga, saya mencoba menggeluti dunia jurnalistik dengan bergabung di lembaga pers mahasiswa Universitas Hasanuddin yang berjuluk Penerbitan Kampus (PK) Identitas. Sebagai magang yang notabenenya ‘anak baru’, reporter serta editor adalah dua sosok yang paling disegani di sebuah redaksi media. Sebab, merekalah yang akan mendidik para anggota baru (magang) secara rutin, mulai dari cara mencari, menulis, mengedit, serta menganalisis berita.

Namun, yang berbeda dengan PK Identitas, para reporter dan editor tidak melulu hanya mengajarkan tentang jurnalistik. Di tengah-tengah beratnya mengejar jadwal terbit, mereka (editor dan reporter) juga senang berbagi berbagai macam hal, termasuk pengalaman akademik maupun non-akademik. Pernah sekali waktu, salah seorang editor bernama Fadli, yang juga merupakan senior sekaligus asisten praktikum di fakultas memanggil saya di tengah-tengah sebuah rapat edisi.

Biasanya, ketika seorang editor memanggil seorang magang, tak lain dan tak bukan perkaranya adalah berita. Namun kak Fadli justru menyodorkan layar laptopnya.

”Ikut lomba ini dek,” pintanya.

Di layar berukuran 13 inchi tersebut, terpampanglah sebuah situs berbahasa Inggris yang dipenuhi gambar-gambar pemuda-pemudi luar negeri dilengkapi berbagai tulisan yang tidak aku mengerti. Yang aku kenali hanyalah sebuah logo bulat bertuliskan ‘Bayer’ yang sering aku lihat di kemasan pupuk kimia. Aku curiga, jangan-jangan lomba ini adalah lomba untuk membuat pupuk. Ah, aku tidak tertarik. Hahahahaha

”Lomba apa ini kak? Harus berbahasa Inggris kalau mau ikut lomba ini?” selidikku.

”Lomba mini proyek tentang lingkungan ini dek. Iya, harus berbahasa Inggris dek.”

”Waduh, saya nda bisa Bahasa Inggris kak,” aku berkelit sebab kurang tertarik dan kurang percaya diri.

”Soal Bahasa Inggris itu belakangan pi dek. Ikut mi saja dulu. Jangan menyerah hanya karena nda bisa Bahasa Inggris,” pungkasnya.

Akupun mengiyakan hanya karena rasa segan karena ia seorang editor. Lalu kucatat nama lomba tersebut di note handphone tuaku. BAYER YOUNG ENVIRONMENTAL ENVOYS. Itu nama lombanya.

Sebulan berlalu. Lomba tersebut kuanggap seperti angin lalu. Jujur aku kurang tertarik. Fokusku saat itu, hanyalah kuliah sembari mencoba aktif di PK Identitas sebagai pelipur laraku pasca meninggalnya Ibu.

Namun, tidak demikian dengan Kak Fadli. Meski telah sebulan lamanya, ia tidak lupa. Ia sesekali menanyaiku ketika bertemu di Rumah Kecil Identitas (sebutan untuk sekretariat PK Identitas) atau ketika bertemu di fakultas. Namun aku hanya tersenyum kecil setiap kali ia menanyakan soal lomba tersebut, agar pertanyaanya segera berhenti. Hahahahaha. (Jika Kak Fadli sempat membaca ini, aku mohon maaf).

Kak Fadli di salah satu moment (sumber: akun facebook Fadli Mustamin)

Libur semesterpun tiba. Kebanyakan mahasiswa memilih pulang kampung. Pun sama denganku, namun aku tak memilih pulang ke rumah, melainkan ke Bira, kampung halaman ibuku. Aku sengaja menghindari pulang ke rumah. Masih berat rasanya melihat rumah tanpa ibu, selain itu aku juga malas jika ditanyai ayah mengenai nilai-nilai mata kuliahku yang anjlok akibat hilangnya semangat hidup dan hasrat belajar semenjak ibu meninggal.

Selama di Bira, yang aku lakukan hanya nonton dan tidur atau sesekali mendatangi Pantai Pasir Putih yang menjadi ikon wisata desa itu. Tapi di suatu malam ketika hendak tidur, aku iseng membuka note di Nokia N73 tuaku. Yang bertengger paling atas dari list noteku, adalah note bertuliskan ”BAYER YOUNG ENVIRONMENTAL ENVOY”. Aku sama sekali tidak tertarik.

Keesokan harinya, bersama Wahyu, sepupuku. Aku mendatangi satu-satunya warnet di Bira. Aku ingin mengecek akun facebookku yang telah lama tak kubuka. Asyik bermain facebook, tak sengaja status Kak Fadli melintas di berandaku. Sontak aku teringat lomba itu.

”Ah tak ada salahnya mencari tahu soal lomba itu,” pikirku.

Akupun mengunjungi situs lomba tersebut berbekal 4 kata yang ada di note handphoneku. Tak sulit, situs yang pernah ditunjukkan Kak Fadli kala itu pun berhasil aku temukan. Kubaca secara seksama, seketika mataku terpancing dengan sebuah kalimat bertuliskan ”The winner will get the opportunity to visit Leverkusen, Germany and all cost will covered by Bayer”. Meski Bahasa Inggrisku tak bagus-bagus amat, tapi aku tidak terlalu bodoh untuk mengerti bahwa kalimat itu ‘menjanjikan’ kesempatan bagi pemenang untuk mengunjungi Jerman. Wow, Jerman. Benua Eropa. Aku

Akupun mulai tertarik lalu tanpa ragu mencetak panduan serta formulir lomba tersebut. Tiga lembar kertas berisi info lomba tersebut pun kubawa pulang seperti menimang bayi baru lahir.

”Siapa tahu saya bisa ke Jerman,” harapku kala itu. Hahahahahahahaha

Siapa yang tak ingin ke Jerman. Negara maju yang terkenal dengan teknologi serta sepakbolanya itu. Begitu yang terlintas di benakku.

Sesampai di Makassar, kutemui Kak Fadli. Ia tersenyum melihatku mulai tertarik mengikuti lomba yang telah puluhan kali ia tanyakan padaku.

”Cari ide saja dulu. Terus susun proposal proyekmu sesuai panduan lomba. Nanti aku bantu translate dek.” ucapnya ringan.

Aku sumringah. Tawarannya untuk membantuku menerjemahkan seperti udara segar atas keinginanku untuk bisa ke Jerman, meski kompetisi tersebut belum tentu sanggup aku menangkan. Namun iming-iming ke Jerman sungguh membutakan. Hahahahahahhaha.

Pengalamanku dalam dunia lomba bisa dibilang NOL. Lomba yang pernah aku ikuti selama hidupku, hanyalah lomba pramuka dan lomba ceramah ketika SMP dulu. Dan Bayer Young Environmental Envoy (BYEE) sungguh jauh dari pengalaman minimku itu. Dan tanpa aku sadari, inilah lomba pertamaku semenjak menyandang status mahasiswa.

Aku mendatangi toko buku di sebuah mall di dekat kampus. Kutelusuri berpuluh-puluh buku untuk mendapatkan ide. Hingga akhirnya kutemukan ide tentang pembuatan arang dengan metode pirolisis yang ramah lingkungan. Akupun memilih untuk membawa ide tersebut ke kompetisi BYEE meski belum paham sepenuhnya tentang teknologi tersebut.

Berbekal informasi dari berbagai sumber di internet akupun mulai menyusun proposal proyek lingkunganku. Hanya tiga hari, proposal yang disyaratkan panitia telah kuselesaikan meski kuakui jauh dari sempurna. Namun karena mengejar deadline yang sudah di depan mata tak ada waktu lagi untuk menyempurnakan, selain itu aku juga tak tahu bagaimana sosok proposal yang sempurna sebab ini kali pertama aku mengikuti lomba semacam ini. Aku hendak bertanya pada orang lain, saya pun tak tahu harus menemui siapa. Alhasil, kerja mandiri, hasil tanggung sendiri. Hahahahahaha

Dan langkah terakhir sebelum sebelum mengirim berkas lomba, adalah mengubah proposal tersebut menjadi berbahasa Inggris. Satu-satunya harapanku adalah tawaran Kak Fadli tempo hari. Kuberanikan mendatangi Kak Fadli di laboratorium tempatnya sering nongkrong. Namun yang kudapati, ia tengah sibuk (bahkan bisa dibilang sangat sibuk) mengurusi penelitian skripsinya ditambah harus memeriksa laporan praktikum. Akhirnya kuurungkan niatku meminta bantuan padanya. Aku merasa tidak enak hati merepotkan seorang senior sekaligus editor dan asisten praktikumku sendiri

Maka pilihan terakhirku adalah Mbah Google Translate. Hahahahaha. Meskipun menggunakan mesin penerjemah akan menghasilkan terjemahan yang kurang baik, tapi paling tidak terjemahan Google jauh lebih baik dibanding hasil terjemahanku sendiri yang mungkin akan memakan waktu cukup lama dengan kemampuan Bahasa Inggrisku yang hancur, apa lagi aku sudah dikejar deadline. Maka tanpa pikir panjang, kuterjemahkan semua proposalku hari itu menggunakan mesin penerjemah lalu mencetaknya dan mengirimnya hari itu juga.

Fyuhhh !!! Akhirnya selesai juga. Hahahahaha…….

Apakah saya lolos atau tidak? Bagaimana reaksi kak Fadli ketika tahu saya mendaftar? Tunggu cerita berikutnya di part 2 kawan-kawan.

"Ketika segala sesuatu terlihat tak menarik sama sekali. Temukanlah hal yang menarik di dalamnya. Seperti ketika sebuah kompetisi tampak sulit atau tak menarik, temukanlah sesuatu yang bisa memotivasi dirimu. Mungkin hadianya, jalan-jalannya, atau mungkin pengalamannya, apapun itu asal bisa membuatmu tertarik. Mungkin tidak semua kompetisi berakhir dengan kemenangan, tetapi tidak ada kemenangan tanpa kompetisi."

- Imamu Hidate


Recent Posts
Follow me
  • Instagram Social Icon
  • Twitter Basic Square
Jumlah Viewer Postingan ini:
bottom of page