top of page

Dua Bayi yang Nyaris Diaborsi Namun Mengubah Dunia (Part I)


Aborsi, membunuh, atau membuangnya ke panti asuhan adalah sedikit kisah pilu tentang penolakan terhadap seorang anak. Memutus takdir meski mereka sama sekali tidak tahu-menahu takdir apa yang sebenarnya telah menunggu anak yang ia tolak atau bunuh.


Padahal bisa saja anak yang ia tolak itu ditakdirkan untuk melakukan hal-hal besar, atau bahkan digariskan untuk mengubah dunia. Berikut dua orang anak manusia yang awalnya ditolak kelahirannya oleh orang tua mereka namun berhasil menggemparkan dunia.


‘The Most Unwanted Baby’ dari Silicon Valley


Pada pertengahan tahun 1951, seorang aktivis mahasiswa American University of Beirut bernama Abdul Fattah Jandali harus mendekam selama 3 hari di penjara kota Beirut. Pemuda kelahiran Homs, Syria tersebut ditangkap akibat protes kerasnya menyuarakan kemerdekaan Aljazair. Tak ayal pemuda tersebut harus keluar dari kota Beirut, dan akhirnya memilih pindah ke New York sebagai imigran.


Dan pada tahun 1952, ia berhasil melanjutkan kuliah di Wisconsin University setelah mendapatkan beasiswa di jurusan Economics and Political Sciences di kampus tersebut. Di kampus itulah ia bertemu dengan pujaan hatinya yang bernama Joanne Carol Schieble yang merupakan seorang keturunan katolik asal Jerman-Swiss. Setelah 2 tahun berpacaran, Joanne hamil. Dan Jandali berniat menikahinya sebagai bentuk tanggung jawabnya.


Namun, orang tua Joanne yang merupakan penganut katolik garis keras menolak keras keinginan Jandali untuk menikahi putrinya dikarenakan perbedaan keyakinan, sebab Jandali adalah seorang muslim. Dan menyarankan putrinya agar melakukan aborsi. Bahkan Jandali pun menyarankan hal tersebut sebagai jalan akhir. Namun, Joanne tetap bersikeras untuk melahirkan bayi tersebut, meski tanpa sepengetahuan Jandali dan kedua orang tuanya. Dan tepat pada tanggal 24 Februari 1955, Joanne melahirkan seorang putra.


Meski berhasil melahirkan putranya dengan selamat. Joanne tetap tidak mungkin merawatnya, terlebih karena ia tak ingin kedua orang tuanya tahu. Dan jalan terakhir, Joanne menitipkan putranya ke salah satu panti asuhan di kota San Fransisco. Namun Joanne tetap ingin putranya dididik oleh orang terpelajar dan diberi pendidikan yang layak, sehingga ia hanya akan mengizinkan putranya diadopsi jika orang tua angkatnya tersebut memiliki latar belakang pendidikan minimal seorang sarjana dan berjanji menyekolahkan putranya ke jenjang pendidikan yang tinggi.

Putra Joanne ketika masih berumur sekitar 1 tahun

Gayung pun bersambut. Putra kecil Joanne tersebut akan diadopsi oleh seorang pengacara handal, dan Joanne pun siap menandatangani surat adopsi. Namun sangat disayangkan, di saat-saat terakhir, istri pengacara tersebut berubah fikiran untuk mengadopsi bayi perempuan sehingga menolak untuk mengadopsi bayi kecil Joanne. Sungguh malang betul nasib bayi tersebut, nyaris diaborsi, lalu ditolak kakek dan neneknya, dan juga ditolak oleh calon orang tua angkatnya. The Most Unwanted Baby


Beruntung, ada sepasang suami istri, Paul dan Clara yang menginnkan bayi malang yang tak diinginkan tersebut. Namun, Joanne menolak keinginan Paul dan Clara sebab keduanya tak sarjana, terlebih Paul hanya bekerja sebagai teknisi mesin di sebuah bengkel kecil. Namun setelah berjanji akan menabung untuk menyekolahkan putranya hingga sarjana, Joanne pun menyerah dan menandatangani surat persetujuan adopsi putranya.

Paul sedang menggendong anak angkatnya

Lalu Paul dan Clara membawa bayi mungil tersebut dan membesarkannya di Silicon Valley (Lembah Silikon) yang terletak di daerah selatan semenanjung San Fransisco. Daerah tersebut dijuluki sebagai Silicon Valley dikarenakan banyak perusahaan yang bergerak dalam bidang komputer dan semikonduktor di daerah tersebut.


Beruntung, anak angkat Paul sangat tertarik dengan dunia otomotif sehingga ia seringkali mengajaknya ke tempat kerja atau sesekali mengajaknya mengotak-atik sebuah mesin mobil. Dan selain dunia otomotif, ia juga sangat tertarik dengan dunia elektronik. Hingga kemudian kertertarikannya itu mempertemukannya dengan seorang ‘geek’ elektronik dan juga seorang hacker ulung bernama Steve Wozniak.


Pada tahun 1970, bersama Wozniak ia membuat alat bernama Blue Box, yakni sebuah perangkat elektronik yang digunakan untuk menelfon jarak jauh. Namun, Blue Box milik mereka didesain untuk meretas sistem, sehingga dapat digunakan untuk menelfon seluruh negara secara gratis. Dan keduanya masih sangat belia kala itu, yakni berumur sekitar 15 tahun.

Blue Box buatan mereka yang dipajang di History of Computer Museum

Meski Blue Box milik keduanya tidak berhasil dipasarkan karena merupakan alat peretas serta ilegal, tapi inilah cikal bakal yang membuat mereka mendirikan perusahaan sendiri. Dan tepat pada tanggal 1 April 1976, keduanya bersama salah seorang lainnya bernama Ronald Wayne mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi digital. Dan mereka memulai perusahaannya di garasi rumah Paul. Lalu kemudian merekrut teman-teman sepergaulan mereka untuk bergabung. Dengan landasan mimpi akan menjadikan perusahaan tersebut menjadi perusahaan teknologi digital terkemuka dan mengubah dunia.


Kelihatan konyol memang untuk perusahaan sekelas ‘garasi’ yang bahkan belum terdaftar sama sekali. Apa lagi mereka masih terbilang cukup muda (saat itu umur mereka sekitar 21 tahun) untuk memulai sebuah perusahaan di tengah megah riahnya industri digital di Silicon Valley. Apa lagi harus melawan dominasi perusahaan raksasa seperti IBM dan Hewlett-Packard (HP).

Garasi tempat mengawali perusahaan

Namun, siapa yang menyangka, pada tahun 2014 (38 tahun kemudian) perusahaan tersebut menjadi satu-satunya perusahaan yang nilai perusahaannya mampu mencapai angka 700 milliar dollar Amerika (Rp. 9.530 triliun) yang menjadikannya perusahaan terkaya di dunia (The Most Valuable Company) jauh dibanding IBM, HP, Microsoft, bahkan mampu menggesser Exxon dari puncak perusahaan terkaya dunia. Sebagai gambaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 bernilai Rp 2.039 triliun. Nilai ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah APBN. Namun APBN Indonesia sangat jauh dengan kekayaan perusahaan tersebut.


Lalu apa sebenarnya yang mereka jual di perusahaan tersebut??? Bagi siapapun yang sedang membaca tulisan ini pasti pernah melihat iPhone, iPad, iPod, dan MacBook. Benda-benda itulah yang mereka pasarkan.


Ya, perusahaan yang berawal dari garasi itulah yang saat ini kita kenal sebagai Apple Computers yang berpusat di Cupertino, California, Amerika Serikat. Yang saat ini menjadi salah satu perusahaan perangkat elektronik paling terkemuka di dunia, bahkan oleh Majalah Fortune menobatkanya sebagai perusahaan paling dikagumi di dunia (The Most Admired Company).

Ya, putra Joanne dan Jandali yang diadopsi oleh Paul dan Clara tersebut adalah Stephen Paul Jobs, atau yang lebih kita kenal sebagai Steve Jobs, founder (pendiri) sekaligus CEO Apple Computers, di mana ia lewat perusahaan tersebut mengubah wajah dunia lewat produk-produk teknologi mutakhir, ikonik, serta fenomenal seperi Apple II (komputer pribadi pertama di dunia), iPhone, iPod, iPad, iMac, dan MacBook yang bahkan orang rela mengantri berhari-hari hanya untuk membelinya.

Steve Jobs (kiri) dan Steve Wozniak

Steve Jobs bersama Apple II

Steve Jobs sedang meluncurkan iPod nano


Ketika meluncurkan iPhone untuk pertama kali


Tak hanya mengubah wajah industri teknologi, Steve Jobs juga mengubah wajah perfilman dunia lewat film animasi. Pada tahun 1985 Steve membeli saham sebuah studio animasi yang hampir bangkrut bernama Graphics Group dari sutradara seri Star Wars, George Lucas. Lalu ia menamainya Pixar dan menjadi pemegang saham paling besar serta menduduki posisi sebagai pejabat eksekutif. Meski awalnya banyak orang yang menilainya bodoh karena membuang-buang uang untuk membeli saham perusahaan yang hampir bangkrut.


Namun, Steve bermimpi ‘mengawinkan’ seni perfilman dengan teknologi sehingga ia menciptakan piranti keras untuk membuat film animasi (yang juga saat ini digunakan sebagian besar produsen film animasi termasuk Disney). Dan akhirnya, di bawah kepemimpinannya bersama John Lasetter sebagai ketua tim kreatif terlahirlah film animasi pendek berjudul Luxo Jr. (1986) yang bercerita tentang sebuah lampu yang dapat bergerak. Tak disangka Luxo Jr. memperoleh nominasi dari Academy Award sebagai Best Animated Short Film, dan menjadi film CGI (Computer-Generated Imagery) pertama yang menjadi nominasi Oscar. Luxo inilah yang menjadi ikon simbolis yang terdapat pada brand Pixar.

Steve Jobs di bawah Lampu Luxo

Lalu pada tahun 1995 lahirlah film animasi paling fenomenal, Toy Story yang merupakan film animasi pertama yang 100 persen pembuatannya menggunakan teknologi komputer. Hasilnya mencengangkan. Toy Story ditonton jutaan orang, dengan menghasilkan keuntungan sebasar 350 juta dollar Amerika. Steve Jobs sekali lagi membuktikan keandalan instingnya. Kesuksesan film Toy Story itu kemudian juga diikuti oleh kesuksesan film sejenis seperti A Bug's Life (1998), Toy Story 2 (1999), Monster Inc (2001), Finding Nemo (2003), The Incredibles (2004), Cars (2006), Ratatoulie (2007), Wall-E (2008), Up (2009), Toy Story 3 (2010), Cars 2 (2011), Brave (2012), Monster University (2013), dan pada tahun ini Pixar mengeluarkan dua film sekaligus yakni Inside Out dan The Good Dinosaur (saya akan mengulas film yang satu ini di postingan berikutnya).

Steve Jobs (paling kiri) bersama John Lasetter (kedua dari kiri) pada saat peluncuran film Finding Nemo

Kesuksesan Pixar di bawah kepemimpinan Steve Jobs betul-betul mengubah wajah perfilman dunia, terutama film animasi. Dan kesuksesan tersebut diikuti oleh hampir semua perusahaan produksi film. Bahkan perusahaan raksasa film kartun The Walt Disney mengakuisisi (membeli) Pixar dan menjadikan Steve Jobs salah satu anggota dewan direksi.


Itulah sedikit kisah tentang Steve Jobs, seorang anak yang nyaris diaborsi, lalu ditolak oleh kakek neneknya, serta tak diterima oleh calon orang tua yang akan mengadopsinya namun berhasil mengubah dunia yang saat ini dapat kita rasakan secara langsung melalui produk-produk Apple yang megah serta film-film animasi yang memanjakan mata. Tak dapat dibayangkan jika saja, Joanne Carol Schieble memilih untuk melakukan aborsi. Bisa saja kita belum bisa menonton film animasi seperti sekarang ini, serta tidak bisa merasakan berkomputer seluluasa saat ini.


No Abortion, but Adoption !!!

Tunggu cerita bayi kedua di postingan Dua Bayi yang Nyaris Diaborsi Namun Mengubah Dunia (Part II)


Recent Posts
Follow me
  • Instagram Social Icon
  • Twitter Basic Square
Jumlah Viewer Postingan ini:
bottom of page